Informasi Terbaru :

Uang 1.000 dan 10.000 baru

Wednesday, July 21, 2010 | 0 comments



VIVAnews - Uang pecahan Rp 1.000 dan Rp 10.000 desain baru resmi diluncurkan
Wakil Presiden Republik Indonesia Boediono hari ini meresmikan mulai beredarnya uang logam pecahan Rp1000. Uang dengan tahun emisi 2010 ini dicetak dengan gambar Garuda Pancasila di salah satu sisi, dan sisi lain bergambar angklung berlatar belakang Gedung Sate, Bandung.

Uang tersebut berwarna putih keperakan yang terbuat dari besi/baja yang dilapisi dengan nikel (nickel plated steel).

"Pemilihan gambar angklung sebagai alat musik tradisional merupakan wujud pelestarian kebudayaan nasional, demikian juga dengan Gedung Sate, Bandung," kata Pjs Gubernur Bank Indonesia, Darmin Nasution saat peresmian pengeluaran uang logam ini di Bandung, Selasa 20 Juli 2010.

Tampak hadir dalam acara peresmian peredaran pecahan uang Rp1000 ini, Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan, dan Gubernur Sumatera Selatan Alex Nurdin. Mereka berdua menjadi penerima replika uang baru ini.

Selain pecahan Rp1000, uang dengan desain baru yang turut resmi dikeluarkan oleh Bank Indonesia adalah pecahan Rp10.000. Pecahan ini menggantikan pecahan Rp10.000 tahun emisi 2005.

Dalam laporan singkatnya, Darmin mengatakan bahwa pencetakan uang pecahan baru ini adalah untuk mendukung peningkatan kegiatan ekonomi masyarakat. Untuk itu uang dibuat dengan ciri khas tertentu, sehingga mudah dikenali sesuai ciri-ciri aslinya guna memperlancar transaksi.

"Selain menjadi alat nilai tukar, momen ini juga menjadi wujud pelestarian tempat bersejarah dalam kehidupan bangsa Indonesia," katanya.

Wakil Presiden dalam kesempatan ini menyampaikan ucapan selamat kepada Gubernur Jawa Barat dan Sumatera Selatan yang terpilih atas sebagian budayanya untuk menjadi simbol di mata uang tersebut.

Peresmian ditandai secara simbolik dengan pembacaan basmalah dan menekan tombol alarm pembuka layar. (hs)

Uang pecahan Rp10.000 desain baru resmi diluncurkan dalam peredarannya hari ini dan siap edar menggantikan pecahan Rp10.000 lama tahun emisi 2005 yang berwarna ungu kemerahan.

Uang pecahan baru ini secara resmi disahkan oleh Wakil Presiden Boediono di Bandung, Jawa Barat, Selasa 20 Juli 2010.

Uang pecahan Rp10.000 baru sengaja dibuat agar pecahan Rp10.000 desain lama ini tidak lagi tertukar dengan uang Rp100.000.

Bank Indonesia menyebutkan perubahan pada uang kertas pecahan Rp10.000 bertujuan untuk mengoptimalkan fungsi elemen desain atauupgrading yang dilakukan terutama pada warna dominan yang semula berwarna ungu kemerahan menjadi ungu kebiruan.

Meski terdapat pula perubahan pada unsur pengaman lainnya, elemen desain utama seperti bahan uang, gambar utama, dan ukuran uang tetap sama.

Perubahan lainnya dari uang kertas Rp10.000 yang baru ini adalah :
- Penambahan unsur pengaman rainbow printingdalam bidang berbentuk segi lima yang memiliki efek berubah warna (efek pelangi) apabila dilihat dari sudut pandang tertentu, pada sebelah kanan gambar utama.

- Penambahan desain berbentuk lingkaran-lingkaran kecil berwarna merah dan di tengahnya berwarna putih yang letaknya tersebar pada sebelah kanan gambar utama.

- Perubahan kode tuna netra berupa satu buah lingkaran yang semua tidak kasat mata menjadi kasat mata dan terasa kasar apabila diraba (cetak intaglio), terletak pada samping kanan gambar utama.

- Penggantian tinta berubah warna (optical variabel ink) berupa segi delapan yang berubah warna dari hijau menjadi biru, apabila dilihat dari sudut pandang berbeda, menjadi desain logo BI di dalam bingkai berbentuk ornamen daerah Palembang dan tidak berubah warna (cetak offset), terletak pada sebelah kanan bawah uang.

Continue Reading

Ramadan, kapal pesiar WGM diluncurkan

Sunday, July 18, 2010 | 0 comments

Wonogiri (solopos.com)–Kapal penumpang wisata Waduk Gajah Mungkur (WGM) yang dibuat investor lokal, Darmanto, dipastikan siap dalam 2-3 pekan ke depan. Kapal senilai Rp 500 juta itu menurut rencana diluncurkan sehari sebelum Ramadan, Agustus 2010.

Kepastian tersebut disampaikan investor sekaligus insinyur pembuat kapal, Darmanto kepada wartawan, Minggu (18/7). Dia mengungkapkan, saat ini proses pembuatan kapal itu sudah hampir selesai. Mesin sudah terpasang di lambung kapal dan keseluruhan bangunan kapal sudah hampir final.

“Kami tinggal memasang kursi-kursi penumpang, dan aksesori lainnya di dalam kapal. Rencananya, uji coba sekaligus peluncuran akan dilakukan bersamaan dengan tradisi padusan sehari sebelum bulan puasa,” jelasnya.

Harapannya, lanjut Darmanto, pada musim libur Lebaran mendatang, pengunjung objek wisata WGM sudah bisa menikmati berwisata keliling waduk dengan kapal pesiar tersebut.

Kapal wisata WGM dibangun dengan panjang 19 meter, terdiri atas dua lantai dan dilengkapi dengan ruang pertemuan. Kapal itu berkapasitas tempat duduk 50-80 penumpang dan dibangun sedemikian rupa sehingga tetap bisa berlayar meski air WGM sedang surut.
Continue Reading

Pembayaran Permata

Saturday, July 17, 2010 | 0 comments

Continue Reading

::News::...

Thursday, July 15, 2010 | 0 comments

Continue Reading

Singkirkan Elpiji, Gunakan Kotoran Sapi

| 0 comments

Kamis, 15 Juli 2010 | 02:57 WIB
Kompas/Iwan Setiyawan
Ilustrasi

SITUBONDO, KOMPAS.com - Ledakan tabung gas elpiji di mana-mana berubah menjadi teror sesungguhnya bagi warga penerima bantuan tabung bermutu jelek dari pemerintah.

Untuk menghindari teror itu, seorang warga Desa Widoropayung, Kecamatan Besuki, Situbondo, Jawa Timur, memanfaatkan bio gas dari kotoran sapi sebagai gas pengganti gas elpiji ke kompor mereka.

Selain lebih aman, juga sangat ekonomis. Hanya dengan empat kubik kotoran sapi bisa digunakan memasak selama delapan tahun. Tentu waktu yang cukup lama, apalagi bahan baku untuk mengolah menjadi bio gas tersebut sangat mudah didapatkan di desa.

Menurut Abdul Fatah, warga Desa Widoropayung, Kecamatan Besuki, Situbondo, awalnya ia coba-coba memanfaatkan kotoran sapi yang selama ini banyak terbuang di desanya. Setelah beberapa menguji coba dengan membuat bak penampungan 8 meter persegi sedalam 1 meter, Abdul Fatah akhirnya mampu mengolah gas dari proses penguraian anaerob (tanpa udara atau fermentasi) dari material organik seperti kotoran hewan.

Setelah itu, disiapkan tabung plastik sebagai tempat penyimpanan gas yang kemudian disalurkan melalui pipa paralon ke kompor gas. Sebelum dialirkan, gas disimpan dalam kran-kran pengatur sekaligus sebagai tempat angin untuk menghilangkan bau kotoran sapi.

"Ternyata mengolahnya tidak sulit, apalagi halaman rumah masih cukup untuk membuat bak penampungan kotoran sapi sebagai bahan utamanya," papar Abdul Fatah.

Untuk membuat bak penampungan dan peralatan yang dibutuhkan, Abdul Fatah hanya merogoh kocek Rp 3 juta. Hasilnya, bio gasnya bisa disalurkan untuk tiga rumah sekaligus selama delapan tahun.

Saat ini terobosannya mengubah kotoran sapi menjadi bio gas mulai banyak ditiru. Bahkan, tidak sedikit warga yang mulai memesan untuk dibuatkan.

Selain hemat, menurut Abdul Fatah, penggunaan bio gas itu sangat aman dibanding elpiji yang mudah meledak bila terjadi kebocoran. Bio gas lebih lemah daya responsnya sehingga tidak mudah menimbulkan ledakan. Selain itu, warga juga tidak memerlukan tabung gas lagi.

Maka, di desa itu sekarang banyak warga yang menjual tabung-tabung elpijinya bantuan dari pemerintah. Selamat tinggal teror!

Continue Reading

Produsen Minyak Sawit tapi Impor Migor

| 1comments

Rabu, 14 Juli 2010 | 14:33 WIB
Tribun Pekanbaru
Perkebunan sawit
ENTIKONG, KOMPAS.com - Kalimantan Barat dalam 10 tahun terakhir mengalami perkembangan pesat di bidang perkebunan sawit dengan tingkat produksi menempati nomor dua terbesar di Indonesia. Namun, produk minyak goreng daerah itu masih harus didatangkan dari tempat lain.

"Ini ironi, sebagai wilayah penghasil sawit, kita belum memiliki pabrik pengolahan sawit atau CPO menjadi minyak goreng," kata Ketua Komite Tetap Perdagangan Perbatasan Kamar Dagang Provinsi Kalimantan Barat, HR Thalib Multi yang dihubungi dari Sanggau, Rabu (14/7/2010).
Sejumlah wilayah di Kalbar merupakan penghasil minyak sawit mentah (crude palm oil), termasuk daerah perbatasan. Namun produk minyak goreng daerah itu masih didatangkan dari Jawa dan impor dari negara lain.
Menurut dia, kebijakan pusat yang mengharuskan seluruh produksi setengah jadi, seperti CPO dan karet, dikirim ke industri hilir yang berada di Pulau Jawa dan Sumatera sangat tidak berpihak ke daerah.
Ia mengatakan, dengan tingkat produksi CPO yang cukup besar dari perkebunan sawit di wilayah Kalbar, seharusnya sudah dibangun industri hilir pengolahan CPO manjadi minyak goreng.
Menurut HR Thalib Multi, keberadaan industri hilir pengolahan CPO di Kalbar akan menguntungkan daerah termasuk petaninya. Selain itu hasil produksi pabrik pengolahan tersebut akan mampu memenuhi kebutuhan masyarakat, jaminan stabilitas harga dan biaya pemasarannya pun relatif lebih murah.
Ia menjelaskan, minyak goreng merupakan salah satu kebutuhan yang harus tersedia di masyarakat, karena sudah merupakan pendukung konsumsi sehari-hari, sehingga saat harga melonjak, masyarakat pun terpaksa membelinya untuk memenuhi kebutuhannya.
Continue Reading

Areal Tanam Sorghum Terus Diperluas

Monday, July 12, 2010 | 0 comments

DIVERSIFIKASI PANGAN
Laporan wartawan KOMPAS Eny Prihtiyani
Senin, 12 Juli 2010 | 18:20 WIB
Sorghum
BANTUL, KOMPAS.com - Untuk diversifikasi suplai pangan, Pemerintah Kabupaten Bantul tahun ini menambah areal tanam sorghum sekitar 5 hektar. Pengembangan di pusatkan di Desa Mangunan, Dlingo. Rencananya, areal tanam akan terus diperluas karena tingginya permintaan pasar.

"Bantul mulai mengembangkan sorghum tahun lalu di lahan seluas 15 hektar. Saat itu baru tahap uji coba di demplot. Ada empat jenis yang kami tanam yakni varietas lokal, Kawali, Numbu, dan varietas F7. Dari hasil uji coba ternyata jenis Nambu memiliki produktivitas tertinggi yakni 3,2 ton per hektar, sehingga tahun ini kami putuskan untuk menanam Nambu di lahan seluas 20 hektar," papar Kepala Dinas Pertanian dan Kehutanan Kabupaten Bantul, Edy Suharyanto, Senin (12/7/2010).

Menurutnya, permintaan sorghum saat ini cukup tinggi. Tanaman serealia tersebut mempunyai kualitas nutrisi yang sebanding dengan jagung dan beras. Kandungan protein sorghum sedikit lebih tinggi dari jagung sedangkan kadar lemaknya lebih rendah.

"Biji sorghum selain sebagai bahan pangan alternatif juga merupakan komoditi agroindustri. Sorghum dalam industri digunakan sebagai bahan baku industri kertas, nira, gula, alkohol, etanol, dan monosodium glutamat. Selain itu sorghum juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan . Dengan masa tanam 120 hari, pengembangan sorghum tergolong menjanjikan," katanya.

Continue Reading

Sayur Organik Kalimantan Lebih Murah

Saturday, July 10, 2010 | 0 comments


Sabtu, 10 Juli 2010 | 08:27 WIB

TABLOID NOVA/ADRIANUS ADRIANTO
Gulai Pakis Campur Udang

PALANGKARAYA, KOMPAS.com - Sayur-sayuran yang diperjualbelikan di pasar dalam Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah mulai didominasi sayuran organik, yaitu sayuran yang hidup dan berkembang di alam bukan hasil budi daya.

Berdasarkan pemantauan di Pasar Besar Kota Palangkaraya, Sabtu (10/7/2010) dilaporkan, pasar sayuran kota ini terlihat lebih khas kalau dibandingkan pasar sayuran di daerah lain karena di lokasi pasar Palangkaraya banyak diwarnai sayuran yang berasal dari tumbuh-tumbuhan hutan.

Di antaranya adalah sayuran yang berasal dari tumbuhan rotan hutan, seperti umbut walatung, singkah, umbut paikat, umbut manau, dari bambu seperti rebung, atau umbut kelapa.

Sayuran lainnya, umbut tumbuhan bakung, pakis hutan (paku), kalakai, daun akar telunjuk langit, serta sawi hutan, dan beberapa jenis sayuran lainnya yang berasal dari semak belukar yang kurang populer namanya.

Menurut para pedagang, sayuran asli asal tanaman hutan tersebut harganya relatif murah bila dibandingkan dengan sayuran budi daya, apalagi sayuran budi daya kebanyakan didatangkan dari Pulau Jawa sehingga harganya cukup mahal.

Ia menjelaskan, sayuran umbut rotan walatung dan umbut rotan singkah seharga Rp 5.000 per ikat ukuran kecil, daun pakis hutan Rp 2.500, per ikat, daun kalakai Rp 1.500 per ikat, daun telunjuk langit Rp 2.500 per ikat, dan daun sawi hutan Rp 2.000 per ikat.

Dibandingkan dengan sayur kol, sawi, wortel, kentang, dari Pulau Jawa yang harganya sudah sulit dijangkau, sayuran organik tersebut harganya justru lebih murah.
Continue Reading

Lada Organik Lebih Mahal dan Diminati

| 0 comments

Sabtu, 10 Juli 2010 | 12:25 WIB

BANDAR LAMPUNG, KOMPAS.com — Pekebun di Kabupaten Lampung Utara, Provinsi Lampung, akan melakukan budi daya tanaman lada organik yang saat ini diminati produsen, baik dari dalam maupun luar negeri.

"Petani bersama pemerintah kabupaten setempat akan membudidayakan lada organik," kata Rohim, pekebun lada asal Abung Tinggi, Lampung Utara, di Bandar Lampung, Sabtu (10/7/2010). Ia menyebutkan, berdasarkan infomasi dari pemkab setempat, lada organik banyak diminati pasar, terutama luar negeri, karena tidak mengandung bahan kimia.

Selain itu, harga jual lada organik juga cukup tinggi dibanding harga lada yang menggunakan pestisida dan yang mengandung bahan kimia lainnya.

Ahmad, pekebun lada lainnya, mengatakan, pihaknya telah menyiapkan lahan untuk budi daya tanaman lada organik seluas dua hektar. Pemkab setempat dapat pula memberikan benih unggul untuk tanaman lada tersebut dan pelatihan tata cara budi daya.

Sementara itu, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Lampung Utara Hamartoni A beberapa waktu lalu mengatakan, Pemerintah Kabupaten Lampung Utara telah menyediakan lahan seluas lima hektar di daerah Abung Tinggi untuk membudidayakan lada organik.

Pasar, terutama luar negeri, saat ini menurutnya meminati lada organik, yang tidak mengandung bahan kimia. Selain lahan, kata dia, pemilihan bibit unggul untuk budi daya komoditas itu pun telah dilakukan. "Bibit lada unggul diharapkan mampu menghasilkan mutu yang baik," ujarnya.

Saat ini, menurut dia, luas areal tanaman lada di Lampung Utara seluas 23.000 ha dengan porduksi antara 500 kg dan 650 kg per ha. Produksi lada sebesar itu katanya masih terbilang rendah, padahal kabupaten itu memiliki potensi tanaman lada yang cukup baik.

Oleh karena itu, lanjut dia, Pemkab Lampung Utara akan melakukan revitalisasi tanaman lada dengan melakukan rehabilitasi atau peremajaan terhadap komoditas tersebut.

Ia menyebutkan, sekitar 30 persen dari 23.000 ha perkebunan lada yang ada akan direhabilitasi.
Continue Reading

Cabai Keriting Tetap Sombong

| 0 comments


Sabtu, 10 Juli 2010 | 12:35 WIB

PALEMBANG, KOMPAS.com — Harga cabai merah keriting di sejumlah pasar tradisional di Palembang selama dua hari terakhir hingga Minggu bertahan di harga tinggi Rp 60.000 per kg.

Meroketnya harga cabai ini, menurut Aris (28), pedagang pengecer di Pasar Perumnas Palembang, disebabkan oleh keterbatasan stok dan jumlah permintaan yang meningkat.

"Kami menerima dari agen yang ada di pasar induk Jakabaring memang harganya sudah tinggi. Jadi, menjual kembali ke pelanggan dengan harga tinggi pula, meskipun terkadang mendapat keluhan pembeli," kata dia.

Menurut dia, melonjaknya harga cabai ini dipengaruhi juga kondisi cuaca dalam beberapa pekan terakhir sehingga petani enggan menanam lantaran curah hujan masih tinggi dan takut gagal panen.

Senada dengan Aris, Junaidi (45), pedagang di Pasar Lemabang, Palembang, mengatakan bahwa kenaikan harga cabai merah pada dua pekan terakhir sangat mencolok, dari Rp 25.000-Rp 30.000 per kg, kemudian melambung menjadi Rp 55.000-Rp 60.000 per kg.

"Harga cabai benar-benar tinggi kali ini, dan belum ada tanda-tanda akan turun karena kami sudah beberapa hari tidak dapat barang. Artinya, ada kemungkinan harga akan naik lagi," ucap dia.
Continue Reading

News Agriculture (Div.Keprofesian)

| 0 comments

Continue Reading

Dihajar Wereng, Boyolali Masih Surplus Beras

Friday, July 9, 2010 | 0 comments

Kamis, 08/07/2010 09:00 WIB - ono

BOYOLALI—Meskipun dihajar serangan wereng batang cokelat hampir di seluruh kecamatan, namun hingga saat ini Boyolali masih surplus ketersediaan beras. Hal ini karena hasil produksi beras bulan Januari hingga Mei lalu masih mencukupi hingga Juni kemarin.
Kepala Kantor Ketahanan Pangan (KKP) Boyolali, Sri Wiyono menegaskan, surplus panen bulan Januari hingga bulan Mei mencapai 4,6 ton. Sehingga kebutuhan pokok beras untuk Boyolali masih tercukupi.
Selain itu menurut dia, berdasarkan pantauan di lapangan persediaan bahan makanan pokok beras, khususnya di wilayah Boyolali utara seperti Kecamatan Kemusu, Juwangi maupun Wonosegoro masih mencukupi.

“Dari pantauan di lapangan, banyak masyarakat yang masih menyimpan cadangan beras di gerobok-gerobok mereka, sehingga untuk ketersediaan pangan masih mencukupi,” terang Sri, Rabu (7/7). Meskipun masih tercukupi, pihaknya tetap menyosialisasikan agar masyarakat tidak tergantung sepenuhnya pada beras. Tetapi melakukan konsumsi penganekaragaman atau diversifikasi makanan pokok selain beras.
Sementara itu berdasarkan data Pola Pangan Harapan (PPH) diversifikasi di Boyolali menurut dia masih rendah dibandingkan PPH tingkat Provinsi Jawa Tengah maupun tingkat nasional yang mencapai 85 dan 81. Padahal dengan upaya diversifikasi makanan ini diharapkan bisa membudayakan konsumsi makanan pokok selain beras, karena di sisi lain kandungan nilai gizinya tidak kalah dengan makanan pokok beras. (ono)

sumber : www.harianjoglosemar.com

Continue Reading

Dihajar Wereng, Boyolali Masih Surplus Beras

| 0 comments

Kamis, 08/07/2010 09:00 WIB - ono

BOYOLALI—Meskipun dihajar serangan wereng batang cokelat hampir di seluruh kecamatan, namun hingga saat ini Boyolali masih surplus ketersediaan beras. Hal ini karena hasil produksi beras bulan Januari hingga Mei lalu masih mencukupi hingga Juni kemarin.
Kepala Kantor Ketahanan Pangan (KKP) Boyolali, Sri Wiyono menegaskan, surplus panen bulan Januari hingga bulan Mei mencapai 4,6 ton. Sehingga kebutuhan pokok beras untuk Boyolali masih tercukupi.
Selain itu menurut dia, berdasarkan pantauan di lapangan persediaan bahan makanan pokok beras, khususnya di wilayah Boyolali utara seperti Kecamatan Kemusu, Juwangi maupun Wonosegoro masih mencukupi.







“Dari pantauan di lapangan, banyak masyarakat yang masih menyimpan cadangan beras di gerobok-gerobok mereka, sehingga untuk ketersediaan pangan masih mencukupi,” terang Sri, Rabu (7/7). Meskipun masih tercukupi, pihaknya tetap menyosialisasikan agar masyarakat tidak tergantung sepenuhnya pada beras. Tetapi melakukan konsumsi penganekaragaman atau diversifikasi makanan pokok selain beras.
Sementara itu berdasarkan data Pola Pangan Harapan (PPH) diversifikasi di Boyolali menurut dia masih rendah dibandingkan PPH tingkat Provinsi Jawa Tengah maupun tingkat nasional yang mencapai 85 dan 81. Padahal dengan upaya diversifikasi makanan ini diharapkan bisa membudayakan konsumsi makanan pokok selain beras, karena di sisi lain kandungan nilai gizinya tidak kalah dengan makanan pokok beras. (ono)

sumber : www.harianjoglosemar.com

Continue Reading

Pesona jagung tak lekang waktu

| 0 comments

Bersantai sambil nonton film terbaru di bioskop rasanya kurang lengkap tanpa ditemani sekotak pop corn alias berondong jagung ala Amerika. Warnanya yang putih kekuningan terlihat cantik.

Meskipun rasanya sederhana, namun pesonanya tak lekang waktu. Penganan olahan jagung layaknya candu yang bikin penikmatnya tak tahan untuk terus mencomot, mengunyah dan mencecap kelezatannya hingga akhir.

Setiap orang Indonesia rasa-rasanya memang sudah sangat familier dengan bahan pangan ini. Padahal jika ditilik dari sejumlah literatur, bahan pangan ini berasal dari kawasan Amerika tengah.

Setiap orang Indonesia rasa-rasanya memang sudah sangat familier dengan bahan pangan ini. Padahal jika ditilik dari sejumlah literatur, bahan pangan ini berasal dari kawasan Amerika tengah.

Setelah mengalami evolusi dan perjalanan amat panjang, jagung tersebar dan dinikmati seluruh umat manusia di dunia. Di Indonesia, jagung mulai dibudidayakan pada kisaran awal tahun 1600-an. Sejak itulah jagung mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia.
Di sejumlah tempat, jagung bahkan menjadi makanan pokok yang setara dengan beras. Bersamaan dengan berkembangnya budi daya jagung, berbagai penganan dari jagung pun bermunculan. Mulai dari yang tradisional khas Indonesia seperti marning dan grontol, hingga kudapan jagung ala Barat seperti berondong jagung. Mulai dari olahan jagung sederhana seperti jagung rebus hingga olahan jagung yang rumit.
Yang jelas, olahan jagu

ng kian variatif. Dari sekian banyak olahan jagung, sepertinya jagung bakar paling banyak peminat setianya. Lihatlah bagaimana ramainya warung jagung bakar yang hampir selalu ada di kota-kota di Indonesia, tak terkecuali Solo. Salah satunya adalah warung jagung bakar Galabo, cabang warung jagung bakar Pak Mursito depan Kantor Pos Solo yang nyaris tak pernah sepi pembeli.
Menu jagung bakar aneka rasa tersedia di sana, mulai dari jagung asin, pedas hingga rasa campuran yang sering disebut rasa nano-nano. Olesan bumbu racikan rahasia yang dipertahankan sejak awal mula berdirinya jagung bakar Pak Mursito. Harga per porsi cukup murah, hanya sekitar Rp 5.000. Ada pula jagung bakar serut yang ditaburi keju parut seharga Rp 6.000. “Menu ini memang khusus untuk pelanggan yang suka jagung tapi malas menggigit,” kata Wawan sang pengelola.
Kuncinya pada bumbu

Jagung bakar Pak Brewok samping Gapuro Gading Permai Solo Baru juga tak kalah ramai. Tersaji dengan nama-nama unik, rasa jagung bakar yang ditawarkan dengan harga Rp 3.000 per porsi memang khas. Jagung bakar naga misalnya, pedasnya begitu membombardir lidah. Sementara jagung bakar bon bin yang dibumbui dari paduan daging sapi dan seafood, gurihnya begitu khas. “Semua bumbu kami modifikasi sendiri. Dan kelezatan olahan jagung pada dasarnya tergantung bumbu,” ujar Waluyo, Pemilik Jagung Bakar Pak Brewok.
Pemilik warung tenda jagung manis King Pasar Gede, Hendro Setiawan juga sepakat, kalau bumbulah yang menjadikan jagung menjadi istimewa. Itu sebabnya, jagung manis rebus olahannya yang dibanderol dengan harga Rp 5.000 per cup lantas divariasikan dengan 12 rasa. “Bahan jagungnya menggunakan jenis jagung bangkok,” terangnya.
Demikian pula pada lepet jagung, jagung parut yang dicampur dengan kelapa parut lalu dibungkus kulit jagung dan dikukus. Walaupun terlihat klasik, kalau paduan bumbu berupa garam dan gula kurang pas, rasanya juga kurang seksi. “Termasuk olahan jagung yang dibuat kering seperti criping dan marning juga demikian. Semakin pas bumbunya semakin nendang gurihnya,” ujar salah seorang pedagang makanan oleh-oleh di Pasar Gede yang berjualan di pintu utama Pasar Gede, Poniman.

Kiat serupa dipaparkan Executif Cheff Kusuma Sahid Prince Hotel, Marsudi Utomo. Menurut dia, pada olahan jagung berkuah seperti sup jagung pun, faktor bumbu adalah utama. Bahkan dengan bumbu yang tepat, rasa olahan jagung bisa disesuaikan dengan selera lidah konsumen. Entah itu sup jagung ala Timur yang pengentalnya menggunakan kanji ataupun sup jagung ala Barat yang pengentalnya menggunakan tepung terigu.

Menurut Utomo, variasi olahan jagung masih banyak sekali. Hanya, yang harus diperhatikan, saat menyajikannya harus dipastikan kalau jagung 100% sudah matang. Termasuk saat jagung digunakan sebagai taburan pada salad. “Makanya, karena harus disajikan matang, jagung kurang fleksibel jika digunakan sebagai garnis,” pungkasnya.

Esmasari W, Fetty P

sumber : www.solopos.com
Continue Reading

Bus Budiman terjepit

| 1comments

8 Juli 2010

Espos/Ratna Puspita Dewi
TERJEPIT — Sebuah bus pariwista terjepit saat melintas di kawasan Viaduk Gilingan, Banjarsari, Solo, Kamis (8/7). Hal tersebut akibat ketinggian bus menyamai ketinggian jembatan rel kereta api.

sumber : www.solopos.com


Continue Reading

Peluang bisnis jagung masih menggunung

| 0 comments

22 Mei 2010

Rasa jagung yang selalu bikin ketagihan rupanya memberikan peluang emas bagi sebagian pebisnis kuliner untuk berkreasi. Menciptakan padu padanan bahan yang pas untuk dikombinasikan dengan jagung. Tetapi, kalaupun tak banyak dikreasikan, kata pemilik warung tenda jagung manis King Pasar Gede, Hendro Setiawan, jagung manis rebus beraksen “minimalis” pun sudah banyak penggemarnya.

“Apalagi jika pandai pula memanfaatkan momen dan lokasi,” saran Hendro yang lalu mencontohkan dirinya sendiri. Saat malam hari, kala lebih banyak pebisnis menjual jagung bakar, ia memilih menjual jagung rebus. Karena lebih sedikit saingan, hasilnya pun lumayan. Bahkan, dari pengakuan Hendro kadangkala sampai kewalahan.

Tak berlebihan, meskipun ia mangkal di Pasar Gede, tetapi banyak pelanggannya yang berasal dari Solo pinggiran. Baik pelanggan yang berasal dari Mojosongo maupun dari sekitar kampus Universitas Sebelas Maret (UNS). “Jadi peluang berdagang di daerah pinggiran sebenarnya masih luas,” ujarnya.

Salah seorang pedagang nasi jagung gurih di Pasar Gede asal Ledoksari RT 3/RW II Tawangmangu, Darwanti juga mengamini kalau peluang usaha kecil dari jagung masih terbuka lebar. “Seperti nasi jagung saja sekarang peminatnya makin banyak,” katanya.

Apalagi,lanjut Darwanti, jika mau sedikit memoles produk yang akan dijual. Seperti ia sendiri misalnya. Dengan menambahkan kelapa dan garam, produk nasi jagungnya jadi bernuansa gurih. Makin menarik, nasi jagung kemudian dibungkus kecil-kecil pada daun pisang dan dijual dengan harga Rp 500 per bungkus. Tak ayal nasi jagung olahan Darwanti, cukup menyedot perhatian tersendiri. “Soalnya kalau yang masih ragu mencoba bisa beli satu dua bungkus lebih dahulu,” katanya.

sumber : www.solopos.com

Continue Reading
 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Forum Mahasiswa Agroteknologi UNS - All Rights Reserved
Template Modify by Creating Website
Proudly powered by Blogger
Selamat datang Di blog resmi Forum Mahasiswa Agroteknologi (FORMAT) Fakultas Pertanian - Universitas Sebelas Maret