Seminar
Nasional bertemakan “Optimalisasi
Lahan Rawa sebagai Lahan Pertanian Berkearifan Lokal Menuju Indonesia Berdaya
Saing Global” yang diadakan pada 6 Maret 2015 bertempat di Universitas
Sriwijaya merupakan salah satu rangkaian acara Musyawarah Nasional dan Rapat
Koordinasi Nasional Formatani (Forum Mahasiswa Agroteknologi Indonesia). Acara
tersebut dihadiri oleh beberapa delegasi dari berbagai universitas di Indonesia
dan juga mahasiswa asal Jepang dari Kagoshima University. Acara seminar
tersebut di isi oleh 3 orang pembicara. Pembicara yang pertama adalah
Prof.Dr.Ir. Rujito Agus Suwignyo, M.Agr, Prof.Dr.Ir. Rubianto H. Susanto, M.Agr.Sc,
dan Prof.Dr. Jun-Ichi Sakagami. Sesuai dengan tema seminar, materi yang
diangkat berdasarkan masalah pemanfaatan lahan rawa sebagai lahan pertanian,
terutama tanaman padi di Indonesia.
Dalam
seminar tersebut dipaparkan bahwa pengembangan daerah rawa di Indonesia
tersebar di beberapa pulau, yaitu Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian
Jaya. Luas lahan rawa Indonesia diperkirakan mencapai 33.393.570 hektar yang
terdiri dari 20.096.800 hektar (60,2%) lahan pasang surut dan 13.296.770 hektar
(39,8%) lahan rawa non-pasang surut (lebak). Dari luasan tersebut, total lahan
rawa yang dikembangkan pemerintah adalah 1.8 juta ha dan oleh masyarakat
sekitar 2.4 juta ha.Dari
luasan33 hektar tersebut sekitar 6 juta hektar diantaranya cukup potensial
untuk pengembanganpertanian.Pada lahan rawa pasang surut,
terdapat masalah utama dalam melakukan budidaya pertanian, (1) Tanaman
pertanian seperti padi rawan akan submergensi (2) Sulit menentukan masa tanam,
dikarenakan pola genangan sulit untuk diprediksi (3) Pertimbangan varietas,
tidak semua varietas untuk komoditi pertanian seperti padi bisa beradaptasi
pada lahan suboptimal seperti rawa. Maka dari itu, perlu adanya teknologi
budidaya yang tepat untuk pengembangan pertanian di lahan rawa, terutama
tanaman seperti padi.
Ratun atau dalam
bahasa daerah sering
disebut sebagai singgang atau
turiang adalah anakan
padi yang tumbuh kembali
setelah dipanen.Pengujian kemampuan
beberapa varietas padi berdaya
hasil tinggi dalam menghasilkan ratun, telah
dilaporkan terutama terhadap padi-padi unggul
nasional, baik dari kelompok
hibrida, inbrida maupun
padi tipe baru dan
semi tipe baru.
Dari 30 genotipe padi
yang diuji potensi
ratunnya di rumah kaca,
terdapat 17 genotipe
yang mampu menghasilkan ratun tinggi, delapan genotipe menghasilkan
ratun sedang dan sisanya
menghasilkan ratun rendah.
Kriteria yang digunakan
dalam menetukan tingkat potensi
ratun adalah kriteria tinggi
apabila produksi ratun
lebih dari 50% dari
produksi tanaman utama, kriteria sedang
adalah jika produksi
ratun berkisar antara 30%-49%
dari produksi tanaman tama
dan kriteria rendah
adalah produksi ratun 10%-29%
dari produksi tanaman utama.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kemamputan
tanaman utama menghasilkan ratun antara lain vigoritas tunggul
setelah panen tanaman utama, tinggi
pemotongan saat panen, pemupukan dan
penggenangan air.
Budidaya padi sistem ratun dilakukan dengan langkah-langkah
sebagai berikut :
1. Satu hari setelah
panen dilakukan pemotongan tunggak padi.
2. Dilakukan
pengenangan 2-3 hari setelah panen.
3. Dilakukan
pemupukan dasar pada umur 5 hari setelah panen.
Teknologi sistem tanam ratun ini
dapat dijadikan salah satu solusi budidaya padi pada lahan rawa. Selain dalam
segi teknologi lebih sustainable,
dengan penerapan teknologi benih dan penataan lahan yang tepat, padi dapat
mudah beradaptasi dengan keadaan suboptimal dan dapat menunjang produksi padi
di lahan tipe rawa tersebut, bahkan mampu memberikan hasil panen yang cukup
besar dibandingkan budidaya konvensional. Untuk menanggulangi lahan yang
tergenang, pembibitan dapat dilakukan dengan dua metode, yaitu metode apung dan
metode tanah dangkal. Pada metode apung, bibit yang akan digunakan disemai di
lahan kecil diatas sebuah rakit sehingga benih tidak akan tergenang dan dapat
tumbuh dengan baik. Sedangkat metode tanah dangkal adalah dengan melakukan
pendangkalan pada sebagian kecil lahan untuk kegunaan peryemaian. Setelah benih
ditanam di lahan rawa, panen dapat dilakukan seperti budidaya padi pada
umumnya, namun keuntungannya adalah tidak perlu dilakukan olah tanah, selain
karena lahan tersebut tergenang, karena pada sistem ratun, sisa tanaman yang
berupa batang bawah dan akar padi masih digunakan untuk musim tanam selanjutnya
dengan memanfaatkan tunas baru yang tumbuh dari rumpun tersebut. Disisi lain,
ini lebih menguntungkan karena tidak dibutuhkannya benih baru untuk masa tanam
selanjutnya. Hal ini dibuktikan dengan percobaan penelitian yang dilakukan oleh
beberapa dosen di Universitas Sriwijaya yang bekerja sama dengan dosen dari Kagoshima
University.
No comments:
Post a Comment