Harga gabah di Kabupaten Purwakarta melejit hingga di kisaran Rp 420
ribu per kwintal untuk gabah kering pungut (GKP) dan Rp 450 ribu per
kwintal untuk kondisi gabah kering giling (GKG).
Sayangnya kondisi tersebut belum bisa dinikmati petani. Pasalnya, sebagian besar tanaman mereka gagal panen akibat kekeringan. Bahkan, saat ini petani juga belum bisa tanam sebab airnya tidak tersedia.
Mulyana (36 tahun), petani yang biasa disapa Abrag asal Kampung/Desa Situ, Kecamatan Pasawahan, mengatakan, harga gabah sedang bagus. Namun, petani tak bisa menikmati harga tersebut. Karena, tidak ada yang bisa dijual.
"Gara-gara gagal panen, kami tak bisa menikmati harga yang sedang tinggi ini," ujar dia, kepada Republika, Rabu (22/8).
Selama musim kemarau, lanjut dia, petani kesulitan tanam. Karena, ketersediaan airnya terbatas. Apalagi, untuk wilayah Pasawahan sumber airnya mengandalkan dari Sungai Cikao. Dengan kata lain, bukan irigasi teknis.
Karena airnya dari sungai, jadi mengandalkan keberuntungan. Bila di hulu airnya besar, maka petani gembira. Sebab, bisa mengambil air. Akan tetapi, bila di hulu airnya menyusut, maka tanaman padi petani akan kekurangan air.
Dengan kata lain, tanam padi di musim kemarau ini mengandalkan kebaikan dari alam. Namun, tetap saja banyak yang gagal panen. Termasuk sawah milik Abrag. Dari setengah hektare yang dia tanam, hanya bisa panen 50 persennya. Sisanya, tidak bisa terambil sebab puso.
Karena gagal panen ini, Abrag tak bisa kembali modal. Biaya tanam selama musim kemarau, mencapai Rp 4 juta. Akan tetapi, hasilnya hanya seton. Hasil produksi itu, dalam keadaan kotor. Tapi, hasilnya tak sesuai dengan harapan.
Sebenarnya, sambung dia, petani lebih diuntungkan bila menjual gabah dalam keadaan kering. Tetapi, karena tuntutan ekenomi, banyak yang menjual dalam kondisi basah. Apalagi, sebelumnya petani sudah terlilit hutang.
Terpisah, Kabid Tanaman Pangan dan Produksi Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Purwakarta, Dedi Setiadi, pihaknya sudah menghimbau ke petani untuk membuat sumur resapan. Supaya, saat musim penghujan sumur tersebut bisa dipenuhi air. Sehingga, bisa dimanfaatkan saat musim kemarau. "Akan tetapi, petani di kita sulit mengubah paradigmanya," ujar dia.
Sampai saat ini, sudah ada 10 unit sumur resapan yang tersebar di kecamatan sawah tadah hujan. Akan tetapi, sumur tersebut tetap tak bisa digunakan, karena sumber airnya tidak ada.
Continue Reading
Sayangnya kondisi tersebut belum bisa dinikmati petani. Pasalnya, sebagian besar tanaman mereka gagal panen akibat kekeringan. Bahkan, saat ini petani juga belum bisa tanam sebab airnya tidak tersedia.
Mulyana (36 tahun), petani yang biasa disapa Abrag asal Kampung/Desa Situ, Kecamatan Pasawahan, mengatakan, harga gabah sedang bagus. Namun, petani tak bisa menikmati harga tersebut. Karena, tidak ada yang bisa dijual.
"Gara-gara gagal panen, kami tak bisa menikmati harga yang sedang tinggi ini," ujar dia, kepada Republika, Rabu (22/8).
Selama musim kemarau, lanjut dia, petani kesulitan tanam. Karena, ketersediaan airnya terbatas. Apalagi, untuk wilayah Pasawahan sumber airnya mengandalkan dari Sungai Cikao. Dengan kata lain, bukan irigasi teknis.
Karena airnya dari sungai, jadi mengandalkan keberuntungan. Bila di hulu airnya besar, maka petani gembira. Sebab, bisa mengambil air. Akan tetapi, bila di hulu airnya menyusut, maka tanaman padi petani akan kekurangan air.
Dengan kata lain, tanam padi di musim kemarau ini mengandalkan kebaikan dari alam. Namun, tetap saja banyak yang gagal panen. Termasuk sawah milik Abrag. Dari setengah hektare yang dia tanam, hanya bisa panen 50 persennya. Sisanya, tidak bisa terambil sebab puso.
Karena gagal panen ini, Abrag tak bisa kembali modal. Biaya tanam selama musim kemarau, mencapai Rp 4 juta. Akan tetapi, hasilnya hanya seton. Hasil produksi itu, dalam keadaan kotor. Tapi, hasilnya tak sesuai dengan harapan.
Sebenarnya, sambung dia, petani lebih diuntungkan bila menjual gabah dalam keadaan kering. Tetapi, karena tuntutan ekenomi, banyak yang menjual dalam kondisi basah. Apalagi, sebelumnya petani sudah terlilit hutang.
Terpisah, Kabid Tanaman Pangan dan Produksi Dinas Pertanian Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Purwakarta, Dedi Setiadi, pihaknya sudah menghimbau ke petani untuk membuat sumur resapan. Supaya, saat musim penghujan sumur tersebut bisa dipenuhi air. Sehingga, bisa dimanfaatkan saat musim kemarau. "Akan tetapi, petani di kita sulit mengubah paradigmanya," ujar dia.
Sampai saat ini, sudah ada 10 unit sumur resapan yang tersebar di kecamatan sawah tadah hujan. Akan tetapi, sumur tersebut tetap tak bisa digunakan, karena sumber airnya tidak ada.