Motif
batik ada banyak sekali dan dalam perkembangannya mengalami berbagai
perubahan bentuk dari motif aslinya. Kami akan mengulas beberapa motif
batik yang dianggap sepuh (kuno).
Motif Sido Luhur
Pertama kali motif ini dibuat oleh Ki Ageng Henis, kakek dari Panembahan
Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam di Kota Gedhe, Yogyakarta).
Motif ini dibuat khusus untuk anak-keturunannya dengan harapan agar si
pemakainya memiliki hati dan pikiran luhur sehingga hidupnya bermanfaat
bagi masyarakat banyak. Motif ini kemudian dimanifestasikan oleh Nyi
Ageng Henis ke dalam lembaran kain (dicanting). Mitosnya, Nyi Ageng selalu megeng (menahan) nafas dalam mencanting sampai habisnya malam
(lilin yang digunakan untuk membatik berbahan baku dari sarang lebah)
dalam canting tersebut. Hal itu dimaksudkan agar konsentrasi terjaga dan
seluruh doa dan harapan dapat tercurah secara penuh ke kain batik
tersebut. Sampai saat inipun secara umum proses penciptaan batik masih
sama seperti jaman dulu. Tugas membuat motif /patron (disebut nyorek dalam bahasa Jawa) dikerjakan laki-laki, sedang wanita yang mencanting.
batik motif sido luhur
Motif Parang
Motif ini dibuat oleh Panembahan Senopati, raja pertama kerajaan Mataram
Islam yang bertahta 1530-1543. Panembahan mendapat inspirasi semasa ia
melakukan teteki (menyepi dan bersemadi) sebelum menjadi raja, di goa pinggir Laut Selatan (sekarang dikenal sebagai pantai Parangkusumo, salah satu obyek wisata di Yogyakarta). Ia begitu kagum terhadap stalagmit dan stalaktit
yang ada di dalam goa yang dalam pandangan Panembahan sangat khas,
khususnya pada saat gelap. Setelah menjadi Raja Mataram, ia pun
memerintahkan para putri kraton untuk mencanting motif tersebut.
batik motif parang kusumo
Motif Truntum
Biasanya motif batik dianggit (dicipta) oleh kaum lelaki, sedang
motif truntum adalah salah satu bentuk pengecualian. Motif ini dibuat
oleh Kanjeng Ratu Beruk, selir dari Paku Buwono III (bertahta 1749-1788)
di kraton Surakarta. Kanjeng Ratu Beruk bukan dari kalangan bangsawan
tetapi anak dari seorang abdi dalem kraton bernama Mbok Wirareja.
Persoalan status ini menjadikan Kanjeng Ratu Beruk selalu gundah. Ia
mendamba jadi permaisuri kerajaan, sebuah status yang begitu dihormati
dan dipuja. Tapi lebih dari semua itu, Kanjeng Ratu Beruk ingin selalu
berada di samping sang raja agar malam-malam sunyi tidak ia lewati
sendirian.
Pada suatu malam, perhatian Kanjeng Ratu Beruk tertuju pada indahnya bunga tanjung yang jatuh berguguran di halaman keraton yang berpasir pantai. Seketika itu juga ia mencanting motif truntum dengan latar ireng
(hitam). Ini refleksi dari sebuah harapan, walaupun langit malam tiada
bulan, masih ada bintang sebagai penerang. Selalu ada kemudahan di
setiap kesulitan. Sekecil apa pun kesempatan, ia tetap bernama
kesempatan.
batik motif truntum
Motif Udan Riris
Paku Buwono III juga dikenal sebagai kreator motif batik. Beliau
memegang tahta saat kraton Surakarta (Solo) banyak mengalami guncangan
perpecahan pasca perjanjian Giyanti (1755). Mengacu pada hasil
perjanjian Giyanti yang membagi wilayah dan isi keraton Kasunanan
Surakarta, sebagian pusaka dan batik kraton pun telah dibawa ke Jogja
oleh Pangeran Mangkubumi yang kemudian jumeneng (bertahta) sebagai raja pertama kerajaan Jogjakarta (Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat). Dimulailah perang dingin antara Solo dan Jogja pada masa itu (perhatikan yg dicetak tebal!). Kerap terjadi saling ejek antara orang Solo dan Jogja. Batik Solo motif Krambil Sesungkil dan Slobok yang dipakai para isteri bangsawan untuk melayat, di Jogja dipakai untuk para punakawan
(batur=pembantu) dalam kisah pewayangan. Begitu juga sebaliknya, batik
Jogja motif Kawung yang dipakai bangsawan untuk melayat, di Solo
dipakai oleh para punakawan. Saling ejek yang dirasa sangat menghina ini
membuat Paku Buwono terguncang batinnya. Untuk meredam kegundahan
hatinya, beliau melalukan teteki (menyepi atau semedi) dengan cara kungkum (berendam) di kali
(sungai) Kebanaran. Lokasinya dekat dengan makam leluhurnya yaitu Ki
Ageng Henis. Kungkum dilakukan pada malam hari dan hanya ditemani sebuah
teplok sebagai lampu penerangan. Waktu dini hari, hujan gerimis
mulai turun seakan turut sedih melihat kondisi saat itu. Bayangan hujan
gerimis yang tertangkap oleh cahaya lampu teplok itulah yang di kemudian hari menjadi inspirasi motif udan riris (hujan gerimis).
batik motif udan riris
Masa Paku Buwono IV bertahta (1788–1820) terjadi kebebasan
berekspresi bagi rakyat kebanyakan. Jika sebelumnya batik dijadikan
sebagai salah satu alat untuk menjalankan kekuasaan, maka pada masa Paku
Buwono IV banyak motif batik yang lahir dari kalangan rakyat biasa. Dan
mitos-mitos baru pun banyak bermunculan.
Kesimpulan author;
Begitu dalam makna yang tersirat dalam motif-motif batik kuno sebagai
manifestasi doa dan harapan serta pengalaman batin sang kreator.
Referensi:
- terangkum dari berbagai pendapat KRT Winarso Kalinggo Honggopuro (alm.)
(Kepala Komite Museum Radya Pustaka Solo, wafat dan dimakamkan
hari Jum'at 29 Oktober 2010) seperti yang pernah termuat dalam
kabarsoloraya.com dengan penulis asli-Hendro.
- foto2 pitoyo.com dan berbagai sumber
- gambar ilustrasi-rumahbatik.com
SUMBER
posting menarik tentang batik..
ReplyDeleteTrims mau gabung, pasang baner dan resubmit
baru tahu kalau motif balik memiliki makna yang sangat dalam,
ReplyDeletekita harus semakin bangga dengan kekayaan asli indonesia ini